Agenda 

Mbah Wali

Achmad Muchammad Kamil/Aam Kamil. Lahir di Gresik, tinggal di Surabaya. Penikmat sastra pesantren, aktif di Kopi Aksara. Beberapa karya dimuat dalam Menerjemahkan Luka (Kopi Aksara, 2014), Berteduh (DKS, 2015), Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCINU Maroko 2017), Senyum Lembah Ijen (Kemah Sastra Nasional 2018), serta beberapa media lokal dan digital lain.

 

Di sela-sela gerimis. Orang-orang bercengkerama di hadapan cangkir. Sederhana sekali. Tidak ada hari Minggu di tempat ini. Di bawah pohon rindang. Dipan satu, medan pertarungan para pion, Dipan dua, baris berbaris kitab kuning bendol abang tak karuan. Dipan tiga, lokasi abab menyembur-nyembur. Atau dampar panjang dekat Wak Bayan, yang racikannya menambal hasrat penikmat tubruk.

Gambar beberapa Wali menggantung pada bilik Warkop. Mungkin karena itu pelanggan menyebutnya warung Mbah Wali. Bonggolan, gimbal dan ote-ote di tatak meja seperti menjelma undangan terbuka untuk air liur.

“Kita pernah jaya di abad 12, abad 15 dan abad 18!”

Seorang sepuh berperi. Songkok hitamnya kusut, datangnya dari entah. Yang ternyata kepadaku. Ia mendekati dipan yang kududuki sendiri sejak tadi. “Sekarang sudah waktunya,” sekali lagi ia berucap, kali ini bersila di hadap. Aku terdiam menerka maksud pembicaraan piantun sepuh itu. Wajahnya tersenyum dengan raut wajah serius. Aromanya tak memungkinkan sedang mabuk. Dan di antara pertanyaan-pertanyaanku yang berlarian, terlepas satu kalimat, “Uwak siapa?”

“Saatnya telah tiba kembali, bumi kita menjadi pusar peradaban.”

“Apa maksud Uwak?”

“Jika pabrik-pabrik terus dibangun, semakin sempit waktu untuk..” Ia menuding, “Seperti menikmati jahe tubrukmu!”

Aku mengangguk membenarkan orang yang kukira terlalu muluk ucapannya; tapi jika memang demikian maka semakin sempit seseorang untuk mengkhusyukkan diri. Untuk sekedar merenungkan segala, atau bercengkerama dengan sesama. Karena warung dengan tubrukan terbaik berada diantara wilayah yang pertanian—perkebunan dan pertambakan—kelautannya masih terjaga.

“Tapi kita membutuhkan pabrik Wak, untuk mengolah dan menjamin adanya lapangan kerja.” Ucapku meyakinkan arah pembicaraan.

“Kumpulkan kaum muda mahasiswa, katakan kita siap dan mau menerima berbagai inovasi mereka. Buat mereka bangga untuk mengajak kawannya berlibur ke sini.”

“Hal itu tamp..”

“Orang-orang sepuh sudah menunggu, ajak mereka, agar juga mengajak masyarakat menjaga kearifan lokal kita,” Piantun sepuh itu panjang lebar menguraikan perbicangannya. Seakan ia tahu apa yang mengganjal di benakku. Benar-benar. Tak ada kesempatan untukku sekali lagi mengeluarkan kata ‘tapi’.

“Tujuannya Wak?”

“Meningkatkan anggaran pendapatan, yang paling memungkinkan saat ini adalah sektor pariwisata. Kita punya potensi untuk itu, wisata alam, wisata sejarah dan wisata rohani.”

Mengamati baju kumal di tubuh Uwak, aku tak sampai berfikir ke arah itu. Perawakan ringkihnya yang menyembunyikan. Atau aku yang sinis sedari awal. Tapi yang dikatakannya benar. Kita bahkan sampai hati mengorbankan situs bersejarah menjadi stadion. Demi pembangunan Islamic Center, kita mengorbankan Alun-alun.

Aku teringat pendapat seorang kawan, peradaban barat sudah habis, tradisional adalah modernitas tercanggih. Mungkin ini yang dimaksudkan. Agaknya piantun sepuh ini memang bukan sembarang orang. Ia jeli dan peduli dalam membaca kondisi.

Setidaknya pula, ia berhasil memantik perenunganku. Sektor pariwisata kita memang tidak terawat. Lihatlah. Orang-orang membuang sampah dan coret-coret seenak tangan. Pahit di mata. Belum lagi kesenian pencak dor yang sendirian melawan punah. Andai saja Pemerintah lebih peduli.

Uwak benar, harus ada sinergi. Dengan meminta bantuan orang-orang sepuh agar masyarakat turut merawat. Menumbuhkan kebanggaan. Perkara promosi, merangkul anak muda mahasiswa toh tidak membutuhkan biaya besar. Mereka menempuh pendidikan di mana-mana. Dengan keahlian masing-masing.

Bisa saja kaum muda menumpahkan inovasi, mengimplementasikannya di tanah kelahiran. Orang sepuh dan masyarakat menerima, menjaga, mengawasi, mengoreksi bila tak sesuai. Cukup sekian bukit yang harus dikeruk, ditukar uang yang merusak keseimbangan alam.

Ada jalan lain untuk mengingkatkan anggaran pendapatan. Jalan yang tak semua berkesempatan memilikinya. Kebudayaan dan pariwisata. Kan, juga bisa menghimpun dana CSR yang tidak sepenuhnya terserap.

“Jahe tubruknya cak, monggo

Aku terhenyak. Tersentak. Jantungku berdebar-debar. Sekelebat aku merasakan jiwaku lepas. kemudian tersadarkan suara Wak Bayan yang mengantar jahe tubruk. Pandanganku menyibak temaram. Pikiranku kocar-kacir memasuki lubang sempit keadaan yang terjadi. Aku duduk di dipan. Sendirian. Sebentar, bagaimana dengan perbincanganku bersama Piantun sepuh tadi?

Perlahan kurunut peristiwa; Aku pulang dari kantor. Jalanan padat tak merayap. Mampir di Mbah Wali. Ada dua orang bermain catur. Aku memesan jahe tubruk, kemudian bersila. Membaca koran dan, ach! Sepertinya aku tertidur dan bermimpi. Perlahan kesadaranku semakin genap.

“Sendirian Mas?” Seorang sebaya menandangiku.

“Iya Mas,” sahutku ramah, “Jam segini lalu lintas sering lumpuh, padahal sudah ada jembatan baru,” imbuhku sambil merubah posisi duduk.

“Harusnya kemacetan di sini masih bisa diantisipasi, agar tidak bertambah parah.”

“Pemerintah dan penyedia jasa mana punya uang buat transportasi massal Mas.”

“Kita memiliki ratusan ahli dan inovator. Adakan lomba desain trem tenaga surya dan lomba pengadaan trem. Yang terbaik akan kita wujudkan, dengan perjanjian angsuran yang memungkinkan.”

“Dengan apa kita akan mengangsur?”

“Modal awal tidak begitu besar, bisa urunan dari kita, pusat.”

“Dan CSR,” Timpalku,

“Nanti, penumpang dan rutenya bisa diintegrasikan dengan pabrik-pabrik. Yang strategis. Agar rekan buruh dan karyawan beralih ke transportasi massal yang tidak membutuhkan bahan bakar ini. Harus murah dan bisa dibuat mengangsur.”

“Tremnya juga perlu dimodifikasi, untuk ruang iklan. Buat biaya perawatan.”

Topik pembicaraan yang aneh. Bahkan bagi pembaca cerpen ini. Meski demikian, perbincangan ini realistis, terukur. Khayalan yang hanya membutuhkan kemauan untuk menjadikannya ada dan bermanfaat. Semudah itu.

Perkara birokrasi, bekal sebagai mantan wartawan tentu tak serumit yang tercetak di media. Selanjutnya transportasi laut. Agar komoditas kita murah dan masyarakat umum bisa turut menikmati. Agar hubungan kita dengan alam tetap harmonis.

“Jahe tubruknya cak, monggo!”

Aku tersontak. Menjingkat. Sela jariku dicium bara rokok. Orang-orang menertawaiku. Linglung. Aku mengebas latu dengan debar jantung kencang. Beruntung baranya tak sampai merambati koran.

Ach!! Apa kerana sekarang wage lantas aku jadi bermimpi aneh-aneh? Tapi orang di dipan dua masih memelototi bidak peraduan. Tapi, Wak Bayan baru saja mengantarkan jahe tubruk yang kupesan! Kersen rindang ini alasan terlogis. Biar, ia saja yang menjadi kambing hitam.

Beberapa saat, aku mulai sadar lalu berjalan ke utara. Untuk mengambil wudhu di langgar. Kira-kira dua puluh meter dari Mbah Wali. Setidaknya agar tetap terjaga dari kantuk dan godaan pohon kersen. Semoga ingatan tentang mimpi aneh tadi terbasuh.

Jalanku menunduk sempoyongan. Mencoba tak menerka-nerka peristiwa, kuingat-ingat senyum Rista yang manja. Gadis Kenjeran yang tak lekas memutuskan kekasihnya.

BRAKK!!

“Maaf mak maaf mak” Kutolong sekenanya. Kupungut pudak yang berserakan dari ronjot. Emak tak terluka. Kupastikan sepeda ontelnya, juga tak rusak. Emak menenangkan diri di pinggir jalan.

Benar-benar sial. Ada apa dengan hari ini! Jelas ini bukan karena pohon kersen. Sudah sekitar dua belas meter aku meninggalkannya. Apa aku ini alien. Yang lupa ingatan. Yang kerana tata surya berjajar aku harus kembali ke planet entah.

“Harusnya dana desa itu bisa dibuat membangun mini market, jadi emak tidak perlu keliling kayak gini”

“Maaf mak, maaf saya kurang hati-hati tadi mak.”

“Modelnya mini market tapi sebenarnya koperasi, sisa buat aspal dan madrasah kan masih banyak. Tiap desa urunan, satu kecamatan satu mini market, itung-itung memfasilitasi produk kecil kayak punya emak ini”

“Jahe tubruknya cak, monggo!”

 

Related posts

Leave a Comment

sixteen − nine =